MK Putuskan Penangkapan Jaksa Harus Izin Jaksa Agung, Kecuali OTT atau Ancaman Hukuman Mati

Oleh: Kiswondari
Jumat, 17 Oktober 2025 | 07:25 WIB
MK memutuskan penangkapan jaksa harus dengan izin Jaksa Agung, kecuali pada OTT atau kasus dengan ancaman hukuman mati. (Foto/Istimewa)
MK memutuskan penangkapan jaksa harus dengan izin Jaksa Agung, kecuali pada OTT atau kasus dengan ancaman hukuman mati. (Foto/Istimewa)

BeritaNasional.com - Pada Kamis (16/10) kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa penangkapan jaksa yang sedang melaksanakan tugas dan wewenangnya harus atas izin Jaksa Agung, kecuali jika dalam hal operasi tangkap tangan (OTT) atau disangka melakukan tindak pidana yang diancam hukuman mati.

Hal ini terkait sidang hasil uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) yang dimohonkan aktivis Agus Setiawan dan advokat Sulaiman, yang dikabulkan sebagian oleh MK.

“Mengabulkan permohonan pemohon I dan pemohon II,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (16/10/2025) kemarin.

Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai memuat pengecualian tertentu.

Pengecualian yang dimaksud Mahkamah yakni, tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.

MK memberikan pemaknaan baru atas Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan yang semula berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.”

Jika merujuk pada norma pasal sebelum pemaknaan MK, setiap penangkapan jaksa, tanpa terkecuali, harus mendapat izin Jaksa Agung terlebih dahulu.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Arsul Sani, Mahkamah menilai, perlindungan hukum untuk penegak hukum atau penyelenggara negara yang tugasnya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman memang diperlukan.

Namun, Mahkamah menilai, norma Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan tidak selaras dengan semangat persamaan semua orang di hadapan hukum, khususnya dalam perspektif perlindungan hukum bagi sesama penegak hukum.

Menurut pendapat Mahkamah, pengecualian perlakuan seharusnya tetap diperlukan dengan batas-batas yang wajar dan terukur. Sebab, kata Arsul, ketiadaan pengecualian dapat menghambat proses penegakan hukum dan memperlemah prinsip persamaan di hadapan hukum.

“Maka tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah berkaitan dengan norma Pasal 8 ayat (5) UU 11/2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat,” ujar Arsul yang merupakan mantan Anggota Komisi III DPR ini.

Selain itu, dalam putusan ini, MK juga mengabulkan dalil pemohon terkait Pasal 35 ayat (1) huruf e. Pasal itu pada pokoknya menyatakan Jaksa Agung dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung (MA) dalam pemeriksaan kasasi.

MK berpendapat, pasal tersebut tidak mengatur batasan atau pengaturan yang tegas mengenai pertimbangan teknis seperti apa yang dapat diberikan Jaksa Agung kepada MA sehingga berpotensi membuka ruang intervensi dalam proses pengambilan putusan.

Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan Pasal 35 ayat (1) huruf e UU Kejaksaan beserta penjelasannya bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, pasal tersebut kini tidak lagi berlaku.

Sumber: Antarasinpo

Editor: Kiswondari
Komentar: