Begini Cara Hadapi Tantangan Tren Suku Bunga
BeritaNasional.com - Sektor industri keuangan memiliki peranan penting dalam menopang perekonomian di suatu negara. Pada tahun 2024 ini, sektor keuangan tengah menghadapi tantangan seiring dengan tren era suku bunga tinggi di tingkat global yang diperkirakan masih akan berlanjut.
Tim Ekonom Perbanas, David Sumual berbicara mengenai ekonomi global salah satu penggerak utama dari sisi moneter salah satunya ialah Bank Central Amerika. Bank Central Amerika telah menurunkan suku bunga sebanyak 50 basis point per tanggal 20 September 2024.
Hal itu dikatakannya dalam diskusi bertema "Menavigasi Strategi Bisnis Setelah Penurunan Suku Bunga Acuan dan Hancurnya Kelas Menengah" sebagai wadah diskusi terkait permasalahan yang sedang terjadi.
“Berangkat dari kebijakan Bank Central Amerika tersebut, Indonesia telah mengantisipasi dengan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis point. Hal ini berdasarkan pemantauan dan probabilitas yang akan terjadi di bulan September akan mengalami 100 persen penurunan. Namun ke depannya uncertainty atau ketidakpastiannya masih cukup besar dengan merujuk beberapa faktor seperti Pemilu di Amerika, Pergerakkan Ekonomi China yang melambat dan Kondisi dari Geopolitik di Ukraina dan Timur Tengah, yang pastinya akan berpengaruh terhadap harga minyak dunia” terang David Sumual.
Lebih lanjut David Sumual juga menjelaskan siklus ekonomi di Indonesia yang keberlanjutannya banyak dipengaruhi oleh siklus komoditas. Naik turunnya revenue banyak dipengaruhi oleh harga komoditas akan menentukan naik turunnya revenue dari perusahaan di Indonesia.
Sementara, Roy Mandey Ketua APRINDO dalam paparan materinya mengungkapkan, dua penyebab yang menjadikan mid level terdegradasi di saat ini yakni micro trends dan sector trends.
“Seperti apa dampaknya? Pertama seperti kita ketahui penyebab di micro trends adalah perubahan iklim yang terjadi hampir seluruh penjuru dunia. Kemudian ada invasi, inivasi ini di global masih ada yang mengalami kenaikan hingga angka 50 pertumbuhannya,” ucap Roy Mandey.
Roy Mandey menambahkan, semua usulan yang datang ini dapat diteruskan ke pemerintah agar segala permasalahan yang terjadi mendapatkan solusinya.
“Saya mengusulkan semua data-data yang kita kumpulkan dari berbagai pihak seperti, akademisi maupun pelaku usaha kita salurkan ke pemerintah untuk dijadikan white papper terutama untuk pemerintahan baru yang akan dimulai per 20 Oktober mendatang,” terangnya.
Sementara itu Hari Ganie Wakil Ketua Umum DPP REI dalam kesempatannya menerangkan terkait situasi dan kondisi yang terjai perihal pertumbuhan KPR/KPA dan Suku Bunga Acuan di Indonesia.
“Seperti yang kita ketahui bersama, pada masa COVID-19 beberapa waktu lalu, kami di dunia properti juga terkena imbasnya. Dengan adanya beragam insentif yang dikeluarkan, teman-teman kembali bisa jualan karena pembeli tertarik dengan beragam insentif dan kebijakan dari pemerintah. Namun, minat pembeli kini mulai turun kembali lagi karena di luar propertinya dan faktor micro,” terang Hari Ganie.
Hari Ganie juga mengungkapkan apa saja yang menjadi tantangan dan peluang di dunia Perumahan Komersil.
“Saya rasa kedepan masih banyak tantangan dan peluang bagi kami para pelaku perumahan komersil di masa yang akan datang. Peluang dan tantangannya antara lain, adanya kebijakan PPN OTP yang memberikan dorongan realisasi properti rumah tapak (KPR)dan rumah susun komerisal (KPA) pada akhir tahun 2023 dan awal tahun 2024. Lalu adanya penyerapan PPN DTP sebesar 50% selama Juli-Agustus 2024 yang terkendala sistem aplikasi SiKumbang yang memiliki banyaknya persyaratan,” ujar Hari Gani.
Bagi pemerintah, suku bunga tinggi akan berdampak kepada optimalisasi setoran pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang bisa menyebabkan ekonomi tumbuh stagnan atau bisa jadi menurun. Mengutip dari informasi dari Kemenkeu, menyebutkan bahwa Kemenkeu akan mewaspadai dampak kenaikan suku bunga acuan terhadap sektor pembiayaan.
Termasuk dampaknya kepada naiknya beban pembiayaan atau cost of fund yang terjadi di perbankan. Hal ini ditambah juga dengan kondisi berakhirnya masa restrukturisasi kredit pada perusahaan pembiayaan.
Terbaru, pemerintah mengusulkan kepada regulator dalam hal ini OJK untuk memperpanjang restrukturisasi kredit Covid-19 hingga tahun 2025 mendatang. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai tidak ada kebutuhan mendesak untuk memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 yang telah berakhir pada 31 Maret 2024 lalu.
5 bulan yang lalu
DUNIA | 1 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 1 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu
POLITIK | 22 jam yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
EKBIS | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu