Rabu, 12 Maret 2025
JADWAL SALAT & IMSAKIAH
Imsak
00:00
Subuh
00:00
Zuhur
00:00
Ashar
00:00
Magrib
00:00
Isya
00:00

LSI Denny JA: Indeks Tata Kelola Indonesia Masih Tertinggal Jauh

Oleh: Tim Redaksi
Rabu, 12 Maret 2025 | 00:46 WIB
Pendiri LSI, Denny JA. (Foto/istimewa).
Pendiri LSI, Denny JA. (Foto/istimewa).

BeritaNasional.com - Hasil  Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan bahwa Indeks Tata Kelola Pemerintahan (Good Governance Index – GGI) Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju di Asia.

“Berdasarkan data terbaru (Maret 2025), Indonesia memperoleh skor 53,17. Angka ini terpaut jauh di bawah Singapura (87,23), Jepang (84,11), dan Korea Selatan (79,44), kata Pendiri LSI, Denny JA dalam keterangannya, Selasa (11/3/2025).

Untuk sukses, Gebrakan Besar Prabowo, seperti Danantara, 70.000 Koperasi Merah Putih, Makan Bergizi Gratis, Pertumbuhan Ekonomi 8 persen, memerlukan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik.

LSI Denny JA mengembangkan GGI sebagai alat ukur komprehensif yang menggabungkan berbagai indeks global dalam satu metrik terpadu. Indeks ini mengacu pada enam dimensi utama: Efektivitas Pemerintahan (25 persen), Pemberantasan Korupsi (20 persen), Digitalisasi Pemerintahan (15 persen), Demokrasi (15 persen), Pembangunan Manusia (15 persen), Keberlanjutan Lingkungan (10 persen).

GGI adalah alat ukur baru yang dirancang khusus untuk era digital dan AI dalam proses pemerintahan. 

GGI menyatukan berbagai indeks global seperti Government Effectiveness Index, Corruption Perceptions Index, Democracy Index, Human Development Index, Environmental Performance Index, dan E-Government Development Index menjadi satu indeks terpadu.

"GGI dikembangkan agar dapat mencerminkan secara komprehensif kualitas pemerintahan suatu negara dalam menghadapi tantangan global seperti disrupsi digital, ancaman populisme politik, hingga perubahan iklim," jelas Denny JA.

Dalam riset tersebut juga terungkap berbagai hambatan utama yang menyebabkan rendahnya skor Indonesia. Di antaranya, kasus korupsi besar, yang mengakar panjang dalam politik oligarki.

Contoh terakhir adalah kasus Pertamina "Pertamax Oplosan" yang merugikan negara Rp 193,7 triliun. Juga dugaan korupsi pengelolaan 109 ton emas yang melibatkan pejabat PT Antam Tbk.

Termasuk kasus tata niaga komoditas timah dengan kerugian mencapai Rp 271,07 triliun dalam kurun waktu 2015-2022. Menurut Denny JA, pemberantasan korupsi menjadi kunci utama dalam meningkatkan skor GGI.

"Tanpa pemberantasan korupsi yang serius dan berkelanjutan, semua agenda besar pemerintahan. Itu termasuk target pertumbuhan ekonomi 8% yang digagas Presiden Prabowo Subianto, akan sulit tercapai," bebernya.

LSI Denny JA juga menyoroti efektivitas birokrasi Indonesia yang masih rendah dibanding Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Negara seperti Singapura sukses karena birokrasi mereka efektif, cepat, dan transparan. 

Indonesia harus segera berbenah agar tidak semakin tertinggal. Selain itu, Denny JA mencontohkan bagaimana Singapura sukses dengan kebijakan nol toleransi terhadap korupsi era Lee Kuan Yew.

India sukses dengan digitalisasi identitas melalui Aadhaar yang meningkatkan efisiensi dan mengurangi korupsi. Serta Korea Selatan yang berinvestasi besar dalam pembangunan manusia melalui revolusi pendidikan yang mendorong kemajuan teknologi.

"GGI ini bukan sekadar alat ukur, tetapi juga peta jalan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan Indonesia," ujar Denny JA.

Dalam jangka panjang, LSI Denny JA akan melakukan pengukuran GGI ini secara tahunan. Itu tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk lebih dari 150 negara di dunia. GGI akan menjadi salah satu  tolok ukur global dalam menilai kualitas pemerintahan.

"Indonesia sedang di persimpangan sejarah. Apakah akan memperbaiki tata kelola secara serius, atau kembali terjebak dalam lingkaran stagnasi, semua tergantung langkah strategis yang diambil pemerintah hari ini,” tandasnya.sinpo

Editor: Harits Tryan Akhmad
Komentar: