Sambut Putusan MK, DPR Segera Revisi UU Pemilu Terkait Presidential Threshold

Oleh: Ahda Bayhaqi
Kamis, 02 Januari 2025 | 17:35 WIB
Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda (BeritaNasional/Elvis)
Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda (BeritaNasional/Elvis)

BeritaNasional.com -  Komisi II DPR akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas presiden (presidential threshold) 20%. Dengan adanya putusan MK tersebut praktis DPR akan merevisi UU Pemilu terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

"Pemerintah dan DPR akan menindaklanjutinya dalam pembentukan norma baru di UU terkait dengan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden," kata Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda, Kamis (2/1/2025).

Rifqi mengatakan DPR menghormati putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden. Menurutnya ini menjadi babak baru demokrasi di Indonesia.
Karena terbuka peluang calon presiden dan wakil presiden yang maju lebih banyak.

"Saya kira ini babak baru bagi demokrasi konstitusional kita, di mana peluang mencalonkan presiden dan wapres bisa  lebih terbuka diikuti oleh lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka"

"Apapun itu MK keputusannya adalah final and binding karena itu kita menghormati dan kita berkewajiban untuk menindaklanjutinya," pungkasnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas presiden (presidential threshold) 20%. MK mengabulkan permohonan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024.

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal 222 itu berbunyi, Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Suhartoyo.sinpo

Editor: Sri Utami Setia Ningrum
Komentar: