Putusan MK Dinilai Berpotensi Kunci Perkembangan Sistem Pemilu

BeritaNasional.com - Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah bisa menimbulkan krisis konstitusional. Bahkan, bisa mengunci ruang perkembangan sistem pemilu.
"Sistem pemilu mestinya harus terbuka pada perkembangan zaman. Contohnya, apabila ternyata secara teknologi kita telah mampu menggunakan e-voting pada Pemilu 2029, apakah persoalan yang diputus dalam Putusan MK dan Amar Putusan MK masih relevan?" ujar politikus yang akrab disapa Tobas dalam keterangannya yang dikutip pada Senin (7/7/2025).
Menurut pria yang akrab disapa Tobas ini, putusan MK yang membuat pemilu DPRD dan kepala daerah ditunda sekitar 2,5 tahun itu menimbulkan masalah konstitusional karena berpotensi melanggar UUD 1945.
Apabila putusan MK itu dijalankan oleh pembuat undang-undang, akan terjadi pelanggaran terhadap Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan bahwa anggota DPRD harus dipilih melalui pemilu.
"Apabila pemilu DPRD ditunda hingga dua tahun atau lebih dari masa jabatan lima tahun, maka akan terjadi masa jabatan anggota DPRD yang tidak memiliki legitimasi demokratis. Ini inkonstitusional, karena mereka menduduki jabatan politik tanpa dipilih rakyat," ujar Tobas.
Sementara itu, jika putusan MK tidak dilaksanakan, presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang akan melanggar Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Tobas juga mengingatkan tentang potensi jabatan inkonstitusional apabila masa jabatan anggota DPRD diperpanjang tanpa pemilu. Menurut dia, sistem demokrasi tidak membenarkan adanya jabatan politik yang ditentukan melalui perpanjangan administratif, karena konstitusi hanya mengakui pemilu sebagai satu-satunya jalur menuju jabatan DPRD.
"Anggota DPRD tidak boleh diangkat, ditunjuk, atau diperpanjang secara administratif. Mereka hanya sah bila dipilih rakyat," jelas Tobas.
Jika diambil opsi mengosongkan DPRD selama transisi, terjadi pelanggaran konstitusi Pasal 18 ayat (3) bahwa pemerintahan daerah memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilu.
Selain itu, putusan MK ini dinilai terlalu teknis. Amar putusan tersebut memuat jadwal dan skema penyelenggaraan pemilu secara eksplisit yang seharusnya ranah pembentuk undang-undang.
"Amar putusan yang memuat teknis pelaksanaan pemilu akan mengunci alternatif lain yang dapat saja terbuka untuk didiskusikan. Ini berpotensi menutup ruang bagi pembuat undang-undang untuk merumuskan kebijakan yang sesuai perkembangan teknologi dan dinamika politik," jelas Tobas.
Ia menambahkan bahwa sistem pemilu haruslah adaptif dan tidak dibakukan melalui putusan yang rigid. Hal-hal teknis seharusnya dibahas melalui proses legislasi yang melibatkan publik, DPR, dan pemerintah.
Lebih lanjut, dalam situasi yang dilematis ini, Tobas menyerukan agar DPR dan Pemerintah mencari jalan keluar yang tetap berada dalam koridor konstitusi. Ia menekankan pentingnya menjaga keabsahan lembaga negara tanpa melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
"Kita dihadapkan pada situasi di mana melaksanakan atau tidak melaksanakan Putusan MK sama-sama berpotensi melanggar konstitusi. Ini jelas bisa mengarah pada krisis konstitusional. Oleh karena itu, kita perlu segera mencari solusi konstitusional yang bijak dan tidak keluar dari rel hukum dasar kita," tandasnya.
PERISTIWA | 14 jam yang lalu
TEKNOLOGI | 20 jam yang lalu
EKBIS | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 2 hari yang lalu
PERISTIWA | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
PERISTIWA | 1 hari yang lalu
HUKUM | 19 jam yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu