7 Tersangka Kasus Tata Kelola Minyak Rugikan Negara Rp 193 T, Ada Dirut Pertamina Patra Niaga!

Oleh: Bachtiarudin Alam
Selasa, 25 Februari 2025 | 08:30 WIB
Kejaksaan Agung memberikan keterangan pers terkait tersangka kasus tata kelola minyak. (Foto/Istimewa).
Kejaksaan Agung memberikan keterangan pers terkait tersangka kasus tata kelola minyak. (Foto/Istimewa).

BeritaNasional.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sebanyak tujuh orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang pada PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), pada 2018-2023.

Diantara tujuh tersangka, turut terseret sebagai tersangka yakni Riva Siahaan selaku Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, dan Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina Internasional Shipping.

"Tim penyidik pada malam hari ini menetapkan 7 orang sebagai tersangka," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, saat jumpa pers, Senin (24/2/2025) malam.

Kemudian tersangka lainnya yakni, Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono selaku Vice President Feedstock Manajemen PT Kilang Pertamina Internasional.

Kemudian, MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan DRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.

"Setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan yang bersangkutan dinyatakan sehat, selanjutnya tim penyidik melakukan penahanan terhadap para tersangka 20 hari ke depan," ujar Qohar.

Sementara untuk duduk perkara kasus korupsi ini, bermula ketika pada periode 2018-2023 pemerintah mencanangkan agar pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari dalam negeri.

Kemudian Pertamina diwajibkan mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018.

Modus Korupsi

Kendati demikian, tiga tersangka Riva Siahaan, Sani Dinar Saifuddin, dan Agus Purwono diduga mengkondisikan dalam rapat organisasi hilir (ROH). Dengan menyimpulkan seolah-olah produksi kilang turun, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak sepenuhnya terserap.

"Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," ungkap Qohar.

Pada saat yang sama, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga dengan sengaja ditolak. Alasannya, produksi minyak mentah tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal masih sesuai harga perkiraan sendiri (HPS).

Alasan lain penolakan, tanggal produksi minyak mentah dari KKKS dinilai tidak sesuai spesifikasi. Faktanya, minyak yang diproduksi masih dapat diolah sesuai dengan spesifikasi.

"Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," ungkap Qohar.

Alhasil Pertamina lewat dua perusahaan turunannya melakukan impor minyak mentah dan produk kilang. Di mana, perbedaan harga pembelian minyak bumi impor sangat signifikan dibandingkan dari dalam negeri.

Dalam kegiatan ekspor minyak juga diduga telah terjadi kongkalikong antara para tersangka. Mereka sudah mengatur harga untuk kepentingan pribadinya masing-masing dan menyebabkan kerugian negara.

"Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan," sebutnya.

Salah satunya dilakukan oleh tersangka Riva Siahaan dalam pembelian produk kilang yang diduga melakukan pembelian untuk RON 92, namun nyatanya yang dibeli adalah RON 90 untuk diolah kembali.

Kerugian Negara

Selain itu, penyidik juga menemukan adanya dugaan mark up kontrak dalam pengiriman minyak impor yang dilakukan oleh tersangka YF. Sehingga, negara perlu membayar biaya fee tersebut sebesar 13-15 persen.

Berkat serangkaian perbuatan para tersangka tersebut juga menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak yang akan dijual ke masyarakat. Sehingga, pemerintah perlu memberikan kompensasi subsidi yang lebih tinggi bersumber dari APBN.

"Adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun," kata Qohar.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.sinpo

Editor: Harits Tryan Akhmad
Komentar: