Uji Materi UU Disabilitas di Mahkamah Konstitusi Demi Pengakuan bagi Disabilitas Fisik Taktampak

BeritaNasional.com - Perjuangan untuk memperjuangkan pengakuan dan perlindungan bagi penyandang disabilitas fisik taktampak (invisible disability) akibat penyakit kronis terus berlanjut. Upaya tersebut kini bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) melalui perkara Nomor 130/PUU-XXIII/2025 yang menguji Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Permohonan ini diajukan oleh Raissa Fatikha, penyandang nyeri kronis Thoracic Outlet Syndrome (TOS), dan Deanda Dewindaru, penyandang autoimun Sjogrën’s Disease. Keduanya mengalami keterbatasan dalam fungsi sosial akibat penyakit kronis yang mereka derita dan menilai UU Disabilitas belum sepenuhnya mengakomodasi kondisi mereka.
Sidang keempat perkara tersebut digelar pada Selasa, 7 Oktober 2025, dengan agenda mendengarkan keterangan dari Presiden dan DPR. Pemerintah diwakili oleh Supomo, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, sementara pihak DPR kembali tidak hadir. Sidang kelima kemudian digelar pada Selasa, 21 Oktober 2025, dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, serta saksi dan ahli dari pihak pemohon. DPR diwakili oleh Sari Yuliati.
Pemohon Minta Perluasan Makna Disabilitas Fisik
Para pemohon berpendapat bahwa penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Disabilitas terlalu sempit karena hanya mendefinisikan penyandang disabilitas fisik sebagai “terganggunya fungsi gerak.” Padahal, menurut International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF), keterbatasan fungsi fisik dapat pula bersifat tidak tampak, seperti kelelahan kronis, nyeri, atau gangguan fungsi organ.
Selain itu, Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) menegaskan bahwa disabilitas adalah “evolving concept” atau konsep yang terus berkembang, sehingga tidak boleh dibatasi secara kaku. Karena itu, pemohon meminta agar penjelasan Pasal 4 ayat (1) diperluas menjadi “terganggunya fungsi fisik,” agar mencakup disabilitas akibat penyakit kronis tertentu yang berdampak signifikan terhadap fungsi sosial.
Namun, Presiden dan DPR menilai bahwa UU Disabilitas saat ini sudah sejalan dengan prinsip CRPD dan ICF. DPR bahkan menilai perluasan definisi tersebut berpotensi mengurangi efektivitas alokasi sumber daya. Meskipun begitu, kedua lembaga secara implisit mengakui bahwa penyakit kronis dapat menyebabkan disabilitas yang memerlukan asesmen medis.
Kesaksian dan Keterangan Ahli
Dalam Sidang V, para pemohon menghadirkan Bahrul Fuad (Komisioner Komnas Perempuan 2020–2025) dan Muhammad Joni Yulianto (Direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel/SIGAB) sebagai ahli, serta Fadel Nooriandi, penyintas Talasemia Beta Mayor, sebagai saksi.
Fadel menceritakan pengalaman hidupnya sebagai penyandang talasemia, penyakit genetik yang mengharuskannya menjalani transfusi darah seumur hidup. Kondisi tersebut menyebabkan kelelahan kronis dan gangguan pada fungsi organ penting. Ia juga mengaku pernah mengalami diskriminasi di sekolah dan tempat kerja karena kondisi kesehatannya.
Sementara itu, Bahrul Fuad menjelaskan bahwa disabilitas merupakan hasil interaksi antara keterbatasan fungsi individu dengan hambatan lingkungan dan sikap sosial. Ia menilai penafsiran sempit terhadap penjelasan Pasal 4 ayat (1) telah menimbulkan diskriminasi sistemik dan meniadakan akses terhadap layanan serta akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas fisik taktampak.
“Disabilitas seharusnya ditafsirkan secara inklusif dan interaksional, tidak terbatas pada gangguan fungsi gerak saja,” ujar Bahrul. Ia menekankan bahwa tolok ukur kedisabilitasan bukan diagnosis medis, melainkan dampak terhadap fungsi dan partisipasi sosial seseorang.
Ahli lainnya, Joni Yulianto, menyampaikan bahwa langkah uji materi ini sejalan dengan gerakan disabilitas global di negara seperti Inggris dan Australia. Ia menilai asesmen disabilitas di Indonesia masih terlalu bergantung pada daftar kondisi yang tercantum dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1), sehingga mengabaikan realitas penyandang disabilitas fisik taktampak akibat penyakit kronis.
“Yang seharusnya dinilai bukan penyakitnya, melainkan dampak sosialnya. Jika permohonan ini dikabulkan, negara dapat mencegah diskriminasi ganda terhadap kelompok disabilitas taktampak,” ujar Joni.
Pentingnya Perspektif Fungsional dalam UU Disabilitas
Kedua ahli juga menanggapi pernyataan Presiden bahwa hak-hak orang dengan penyakit kronis sudah dilindungi oleh UU HAM, UU Kesehatan, dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Mereka menilai ketiga undang-undang tersebut memiliki semangat berbeda dan tidak menyoroti hambatan sosial yang dialami penyandang disabilitas taktampak.
Menurut para ahli, UU Disabilitas menitikberatkan pada pemenuhan hak dan kesetaraan partisipasi sosial, bukan semata penyembuhan. Pengakuan terhadap disabilitas fisik taktampak diharapkan menjadi langkah maju untuk memastikan semua warga negara, tanpa terkecuali, mendapatkan perlindungan dan kesempatan yang setara di hadapan hukum.
HUKUM | 2 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu
HUKUM | 2 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu
HUKUM | 2 hari yang lalu
OLAHRAGA | 1 hari yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu
GAYA HIDUP | 1 hari yang lalu
OLAHRAGA | 4 jam yang lalu
HUKUM | 1 hari yang lalu